Perilaku Tantrum Anak Usia 5-6 Tahun Ditinjau Dari Usia Menikah Orangtua .

Perilaku Tantrum Anak

RadarJateng.com, Pendidikan Anak merupakan titipan Tuhan yang harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya oleh setiap orangtua. Orangtua mempunyai kewajiban untuk memberikan pengasuhan yang  mampu menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan anak secara optimal terutama saat anak berada dalam usia emas (0-6 tahun).

Setiap orangtua pasti menemui permasalahan dalam proses tumbuh kembang anak, salah satunya perilaku tantrum. Perilaku tantrum merupakan fase yang normal bagi anak. Menurut para ahli, perilaku tantrum pada anak seringkali muncul pada usia 15 bulan sampai 6 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 1 hingga 3 tahun. Perilaku tantrum akan menghilang secara bertahap seiring bertambahnya usia anak dan kemampuan mengungkapkan emosi dalam dirinya.

Tantrum merupakan ledakan kemarahan yang tidak terkendali disertai dengan perilaku destruktif. Perilaku tersebut diantaranya: tangisan keras, menjerit, berguling-guling di lantai, melempar barang, berteriak-teriak, tidak mau beranjak dari tempat tertentu, memukul, menendang, atau membuat tubuh kaku (Achroni, 2012: 30). Ada beberapa jenis tantrum sebagaimana disebutkan oleh Hildayani (2008: 67) yakni: manipulative tantrum;verbal frustation tantrum; dan temperamental tantrum.

Read More

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum menurut Hasan (2011: 187) adalah ; (1) terhalangnya keinginan untuk mendapatkan sesuatu; (2) ketidakmampuan anak mengungkapkan diri; (3) tidak terpenuhinya kebutuhan; (4) pola asuh orang tua.; (5) anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit yang dapat menyebabkan anak menjadi rewel; (6) anak sedang stres dan merasa tidak aman.

Secara umum, anak- anak  usia 5-6 tahun yang ada di Desa Bener masih menunjukkan intensitas tantrum sedang sampai tinggi. Berdasarkan informasi dari salah seorang guru di TK ABA Bener, masih ada beberapa anak yang masih menunjukkan tantrum ketika berada di sekolah. Beberapa orangtua juga memberikan keterangan bahwa anaknya masih sering menunjukkan perilaku tantrum.

Orangtua diharapkan mampu memberikan penanganan yang tepat sehingga perilaku tantrum anak dapat hilang dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya usia anak. Kematangan dan kestabilan emosi orangtua sangat berpengaruh, selain sebagai bekal untuk menghadapi perilaku anak, kematangan dan kestabilan emosi orangtua juga akan dicontoh oleh anak. Salah satu hal yang menentukan kematangan emosional individu adalah usia. Sebelum memutuskan untuk menikah dan menjadi orangtua, kematangan usia hendaknya sangat diperhatikan.

Sebagaimana hasil penelitian dari Khairani dan Putri (2008) tentang kematangan emosi pada pria dan wanita yang menikah muda menunjukkan hasil bahwa kematangan emosi tertinggi pada wanita berusia 24 tahun dan kematangan emosi tertinggi dimiliki oleh pria berusia 23 tahun. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori Benokraitis (1996) yang menyatakan bahwa bertambahnya usia seseorang menyebabkan emosinya akan semakin terkontrol dan matang. Namun Young (2007) berpendapat bahwa walaupun kematangan emosi seseorang perkembangannya seiring dengan pertambahan usia, akan tetapi faktor fisik fisiologis juga belum tentu mutlak sepenuhnya mempengaruhi perkembangan kematangan emosi, karena kematangan emosi merupakan salah satu fenomena psikis, baik faktor pola asuh keluarga, lingkungan sosial, pendidikan dan sebagainya.

Usia orangtua menikah adalah usia pada saat laki-laki dan perempuan melakukan sebuah ikatan lahir batin yang bertujuan untuk membentuk sebuah keluarga untuk yang pertama kali. Menurut Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, definisi perkawinan yaitu “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” (2002,38).

Undang- undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 7 ayat (1) juga menyebutkan syarat menikah untuk laki-laki minimal sudah berusia 19 tahun, dan untuk perempuan harus sudah berusia minimal 16 tahun. Jika menikah dibawah usia 21 tahun harus disertai dengan ijin kedua atau salah satu orangtua atau yang ditunjuk sebagai wali sesuai dengan pasal 6 ayat 2 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Ibu Yuni Astuti S. Pd Guru TK Aisyiyah Beran, Wonosobo – Jateng

Usia perkawinan yang dilakukan orang tua akan mempengaruhi kualitas sebagai orang tua. Pasangan yang menikah muda, relatif rentan terhadap adanya badai dan tantangan hidup keluarga. Hal ini berhubungan dengan kestabilan emosi dan kemampuan pengendalian emosi diri. Secara umum individu dengan umur 25 tahun akan relatif lebih matang dibandingkan individu yang berumur 17-18 tahun  yang akan memasuki usia perkawinan (Latiana, 2010). Jika usia orang tua yang melakukan pengasuhan terhadap anak belum memiliki kematangan dalam hal emosi maka ia juga tidak  dapat  memberikan stimulus terhadap perkembangan emosional anaknya secara maksimal.

Adhim (2002) menyebutkan bahwa kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan pernikahan di usia muda. Individu yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki pernikahan lebih mampu mengelola perbedaan yang ada sehingga lebih siap menghadapi perbedaan yang ada dalam rumah tangga. Selain itu kematangan emosi juga sangat dibutuhkan dalam mendidik anak.

Dalam mendidik anak, orangtua adalah model atau contoh yang kuat dan sangat berpengaruh bagi anak. Ketika orangtua belum bisa mengendalikan amarahnya dan sering menunjukkan kemarahan yang tidak terkontrol dihadapan anak, maka anak juga akan meniru perilaku tersebut karena menganggap perilaku tersebut adalah hal yang wajar karena orangtuanya dirumah sering melakukan hal tersebut. Orangtua seharusnya memiliki kematangan emosi seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1980) bahwa petunjuk kematangan emosi pada diri individu adalah kemampuan untuk menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang sehingga akan menimbulkan reaksi emosional yang stabil dan tidak berubah-ubah.

Orangtua yang berusia lebih  muda apalagi masih berusia remaja cenderung terpancing emosinya ketika anak melakukan tantrum. Hal ini karena secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan dimana ketegangan emosi meninggi akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Sehingga reaksi yang muncul dari orangtua muda ketika anak melakukan tantrum justru kemarahan bahkan hukuman fisik seperti memukul atau mencubit anak. Padahal membalas perilaku tantrum anak dengan  kemarahan akan membuat tantrum anak semakin menjadi dan semakin lama. Sedangkan memberikan hukuman fisik kepada anak justru menunjukkan bahwa orangtua kehilangan kontrol diri ketika marah, hal ini akan menjadi contoh yang buruk bagi anak.

Orangtua yang sudah kehilangan kesabaran ketika menghadapi tantrum anak akan segera memberikan apa yang diinginkan anak. Ketika anak menginginkan sesuatu dan menunjukkan perilaku tantrum, orangtua langsung memberikan apa yang diminta oleh anak. Hal ini dilakukan agar tantrum segera berhenti. Cara ini dapat menghilangkan tantrum pada saat itu, namun justru akan menguatkan perilaku tantrum anak. Anak mengganggap tantrum merupakan senjata untuk memenuhi keinginannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Achroni (2012) bahwa cara terbaik untuk menangani anak tantrum bukan dengan memenuhi segala keinginannya, namun dengan menghilangkan perilaku ini perlahan-lahan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khairani dan Putri (2008) tentang kematangan emosi pada pria dan wanita yang menikah muda, menunjukkan bahwa data demografis yang berkaitan dengan usia menunjukkan bahwa kematangan emosi tertinggi pada wanita berusia 24 tahun. Sedangkan pada subjek pria, kematangan emosi tertinggi dimiliki oleh pria berusia 23 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pasangan yang menikah muda di usia belasan tahun masih harus belajar mengendalikan emosinya dalam menghadapi semua tanggung jawab dan permasalahan dalam keluarga.

Selain dari segi kematangan emosi orangtua, hal lain yang juga berpengaruh terhadap tingginya intensitas perilaku tantrum anak dari orangtua yang menikah muda adalah pola asuh. Hasan (2011) menyebutkan bahwa pola asuh orangtua juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan  apa yang diinginkan, dapat tantrum ketika permintaannya ditolak. Anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtua, sesekali dapat bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga dapat menyebabkan tantrum anak.

Menurut Latiana (2010: 32) karakteristik yang dimiliki orangtua seperti umur saat pernikahan juga merupakan faktor penting yang dapat menentukan kualitas pengasuhan kepada anak. Pasangan yang menikah muda, relatif rentan terhadap adanya badai dan tantangan kehidupan keluarga. Hal ini berhubungan dengan kestabilan emosi dan kemampuan pengendalian emosi diri. Individu yang relatif muda umumnya belum memiliki kematangan untuk mengendalikan emosi sehingga menyulitkan untuk menyesuaikann diri dengan pasangan hidupnya.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 17 responden orangtua yang menikah muda di desa Bener, didapatkan hasil bahwa 11 orangtua (65%) menitipkan anaknya kepada orangtua/ kakek- neneknya dalam hal pengasuhan. Hal ini karena orangtua baik ayah maupun ibu sama- sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Secara umum pengasuhan yang diberikan oleh kakek/ nenek cenderung memanjakan anak atau permisif. Mereka akan memberikan apa saja yang diinginkan anak asal anak tidak rewel. Hal ini tentunya memberi kebiasaan yang buruk bagi anak, anak akan melakukan apa saja agar keinginannya tersebut dipenuhi termasuk melakukan tantrum.

Sedangkan sisanya sebanyak 6 orangtua muda (35%) mengasuh anaknya sendiri. Dalam hal  pengasuhan para orangtua ini cenderung otoriter atau mendominasi anak agar menurut dengan segala aturan orangtua namun tidak memberi kesempatan kepada anak untuk menyampaikan argumen. Orangtua juga sering marah-marah ketika anaknya rewel saat menginginkan sesuatu bahkan tidak segan memukul atau mencubit anak. Hal tersebut membuat anak semakin tantrum dan orangtua sering terpancing lalu memberikan apa yang diingikan anak setelah anak tantrum. Padahal menurut Hurlock (1978), keberhasilan emosi yang memenuhi kebutuhan anak mempengaruhi variasi pola emosi. Jika ledakan amarah berhasil memenuhi kebutuhan anak akan perhatian dan memberikan apa yang mereka inginkan, mereka tidak hanya akan terus menggunakan perilaku tersebut untuk mencapai tujuan, tetapi juga akan menambah intensitas ledakan amarah, sehingga penilaian mereka terhadap ledakan amarah akan meningkat sebagai cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Usia orangtua yang masih muda dan belum memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi akan berdampak pada kualitas pengasuhan. Hal ini juga  sejalan dengan hasil penelitian Alfianti (2010) yang menyebutkan bahwa  pasangan yang menikah usia muda masih kurang dalam kematangan psikologis ataupun materi sehingga masih membutuhkan bantuan dari keluarga besarnya. Keadaan ekonomi keluarga yang belum stabil juga sering membuat orangtua dari pasangan suami istri ikut campur dalam urusan memenuhi kebutuhan keluarga. Selain dari segi ekonomi orangtua juga ikut menjadi pengasuh cucunya karena orangtua sibuk bekerja, dan hal ini tentunya berpengaruh terhadap kualitas pengasuhan yang diberikan kepada anak. Sehingga lingkungan keluarga besar memberikan pengaruh terhadap tingginya intensitas tantrum anak.

Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Lestariningsih (2013) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pola asuh ibu yang menikah muda terhadap perkembangan sosial emosional anak. Hasil penelitannya menunjukkan bahwa 76,6% perkembangan sosial emosional anak dipengaruhi oleh pola asuh ibu yang menikah usia muda.

Sedangkan anak dari orangtua yang menikah pada usia dewasa memiliki intensitas tantrum pada kategori sedang. Hal ini karena orangtua dengan usia yang lebih dewasa memiliki kematangan emosi sehingga lebih siap dalam menghadapi peran sebagai orangtua. Hurlock (1978:68) juga mengatakan bahwa secara umum orangtua yang lebih berumur menerima perannya sepenuh hati daripada mereka yang lebih muda. Dengan kesiapan tersebut orangtua lebih mampu mengasuh anak dengan penuh kasih sayang serta kesabaran ketika mengahadapi berbagai perilaku anak yang terkadang menyulitkan orangtua.

Pada umumnya semua orangtua baik muda maupun dewasa  sama-sama memberikan pengaruh terhadap munculnya perilaku tantrum anak, akan tetapi ada beberapa faktor yang membuat intensitas tantrum pada anak berbeda. Faktor-faktor tersebut antara lain kematangan emosi orangtua, pola asuh yang diterapkan, serta lingkungan tumbuh kembang anak mengingat keluarga merupakan lembaga sosialisasi anak yang pertama dan menentukan tumbuh kembang anak. Jika keluarga memberikan pengaruh yang baik, maka akan berdampak baik pula bagi perkembangan dan pertumbuhan anak, begitupun sebaliknya.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara perilaku tantrum anak usia 5-6 tahun ditinjau dari usia menikah orangtua. Anak dari orangtua yang menikah muda memiliki intensitas tantrum yang lebih tinggi daripada anak dari orangtua yang menikah pada usia dewasa. Orangtua muda perlu melatih kematangan emosinya serta memberikan pengasuhan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh anak. Institusi masyarakat hendaknya memberikan pengetahuan serta pelatihan kepada orangtua, khususnya orangtua muda tentang pengasuhan yang tepat sesuai dengan kebutuhan anak. Selain itu, masyarakat diharapkan mulai mematuhi aturan yang berlaku tentang standar minimal usia pernikahan yang diberlakukan di Indonesia.

Penulis : Yuni Astuti S. Pd Guru TK Aisyiyah Beran, Wonosobo – Jateng

DAFTAR PUSTAKA

  • Achroni, K. 2012. Ternyata Selalu Mengalah Itu Tidak Baik. Jakarta: Javalitera.
  • Adhim, M.F. 2002. Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: Gema Insani Press.
  • Alfianti RN. 2010. Pola Asuh Anak Ibu Berusia Muda (Studi Kasus di Desa Sawojajar, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes). Abstrak. Universitas Negeri Semarang.
  • Anonim. 2009. Perilaku Anak yang Temper Tantrum. http://anekatk.blogspot.co.id. Diakses pada  17 Juni 2015 pukul 15.46 WIB.
  • Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Azwar, S. 2011.Metode Penelitian. Jogjakarta: Pustaka Belajar.
  • Hasan, M. 2011. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: DIVA Press.
  • Hurlock, E. B. 1978. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
  • Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
  • Latiana, L. 2010. Modul Pendidikan Anak Dalam Keluarga. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
  • Lestariningsih, D. R. 2013. Pengaruh Pola Asuh Ibu Yang Menikah Muda Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
  • Purwanto. 2012. Instrumen Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Rahma K. dan D. E. Putri. 2008. Kematangan Emosi pada Pria dan Wanita yang Menikah Muda. Jurnal Psikologi Volume 1, No. 2, Juni 2008. Diakses pada 10 November 2013 pukul 16.29 WIB.
  • Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,    Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
  • Tandry, N. 2011. Buku Pintar Perilaku Anak. Jakarta: Libri.
  • Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002 & Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang Perlindungan Anak. 2007. Bandung: Citra Umbara.

Related posts