RadarJateng.com, Pendidikan – Di Indonesia, pengajaran matematika saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Ada kesadaran besar akan perlunya memperbarui pendidikan matematika, khususnya di kalangan pembuat kebijakan. Tujuannya adalah untuk memberikan siswa pemahaman matematika yang lebih dalam dan membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan baik untuk melanjutkan pendidikan tinggi maupun memasuki dunia kerja (Sutarto Hadi, 2008). Fokus yang lebih besar ditempatkan pada siswa sebagai manusia yang memiliki kapasitas untuk belajar dan tumbuh di bawah paradigma pendidikan baru. Siswa perlu mengambil peran aktif dalam pengembangan pengetahuan mereka sendiri. Kebenaran sains melampaui apa yang dikatakan oleh instruktur. Guru perlu mengambil peran baru: mereka tidak lagi menjadi sumber informasi ilmiah dan indoktrinasi, namun menjadi fasilitator yang membantu siswa mengembangkan keahlian mereka sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa dengan menggunakan paradigma baru ini, siswa akan menjadi sangat percaya diri, berani mengungkapkan pemikirannya dan menerima pemikiran orang lain, terlibat dalam diskusi kelas, dan bersemangat untuk belajar (Zamroni, 2000).
Saat ini, sebagian besar siswa memandang matematika sebagai mata pelajaran yang menantang. Asumsi ini tidak mungkin dipisahkan dari cara masyarakat mulai memandang matematika. Anggapan tersebut tidak mungkin dilepaskan dari perspektif matematis yang berkembang di masyarakat. Tanpa disadari, banyak orang yang menganggap matematika merupakan mata pelajaran menantang yang mendominasi pikiran anak-anak. bagi siswa untuk mempertimbangkan hal ini ketika bekerja dengan matematika. gagasan bahwa matematika adalah disiplin teoretis, abstrak, dan kering dengan banyak simbol dan rumus yang rumit. Anggapan ini berkontribusi pada opini buruk yang dimiliki siswa tentang matematika. Oleh karena itu, pembelajaran matematika tidak lagi dilihat secara objektif. Objektivitas matematika sebagai ilmu telah hilang (Hj Sriyanto, 2008). Tentu saja, kita tidak bisa begitu saja menaruh tanggung jawab pada asumsi-asumsi yang berkembang di masyarakat. Anggapan ini adalah akibat dari pengalaman buruk dengan pengajaran aritmatika. Sikap guru pada saat pembelajaran juga memberikan kontribusi terhadap persepsi bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang menantang. Kondisi ini diperparah oleh guru yang mempunyai sikap marah, menghakimi, atau menghukum, atau mengajar terlalu cepat atau membosankan.
Guru harus menjadi pihak pertama yang mematahkan mitos bahwa matematika itu sulit bagi siswanya.
- Guru perlu beralih dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma progresif. Menurut paradigma konvensional, transfer pengetahuan mendominasi pengajaran matematika di sekolah. Guru terpaksa mengajar matematika dengan cepat namun dangkal karena banyaknya dan sulitnya mata pelajaran, serta kebutuhan untuk menyelesaikan tujuan pembelajaran. Pembelajaran matematika dicapai melalui pola pengajaran, bukan dengan membangun dan merekonstruksi pengetahuan. Pendidikan matematika di sekolah pada dasarnya adalah pembelajaran hafalan dan bukan pelatihan proses berpikir, bahkan tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih sendiri jalan mana yang harus ditempuh dalam mencari pengetahuan yang memiliki makna pribadi.
- Paradigma matematika perlu diubah oleh para pendidik. Matematika bukan hanya merupakan alat yang digunakan dalam ilmu-ilmu lain, namun juga merupakan ikhtiar manusia. Menurut Hans Freudental, pembelajaran matematika merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Dia berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai konsumen pasif matematika prefabrikasi. Di bawah pengawasan orang dewasa, siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali matematika (Gravemeijer, 199.

Dalam upaya menghilangkan anggapan bahwa matematika adalah topik yang menantang, saya mencoba menawarkan alternatif. Pelajaran matematika dapat dibuat lebih menyenangkan dengan memasukkan “berteriak” pada tahap awal pengajaran. Slogan kegiatan pembelajaran tersebut adalah “Matematika, Tetap Semangat, Antusias, Semangat ya” dan “Matematika, Menyenangkan dan Menyenangkan” ketika saya mengamati siswa di SMAN 1 Indralaya Selatan. Saya berusaha membuat siswa berteriak “yel-yel” di awal pelajaran. Selain itu, instruktur memiliki kekuatan untuk menciptakan pengalihan selama kelas. Permainan matematika, teka-teki, dan bercerita dapat menjadi sumber gangguan ketika belajar matematika. Misalnya, dalam mitos Thales, raja memintanya menghitung tinggi piramida saat dia berada di Mesir. Thales sedang menunggu momen di hari ketika bayangan yang dihasilkan tubuhnya sesuai dengan tinggi badannya. Selanjutnya, hitunglah panjang bayangan limas yang sama dengan tinggi limas secara alami. Ada banyak strategi tambahan untuk mempengaruhi sikap siswa terhadap matematika. Mengingat matematika adalah usaha manusia, akan bermanfaat bagi pendidik untuk fokus pada penelitian dan pendekatan spesifik ketika mengajar kelas matematika. Hal ini bertujuan dengan semakin kreatifnya pengajaran di kelas, matematika akan menjadi mata pelajaran favorit siswa dan tidak menjadi masalah dalam beberapa tahun ke depan.
Penulis, Tri Kurnia Sari, S.Pd, Guru Matematika SMA Negeri 1 Indralaya Selatan, Kec. Indralaya Selatan Ogan Ilir – Sumatra Selatan