PMI Kota Semarang Meresmikan Klinik Utama,Untuk Menigkatkan pelayanan kesehatan Masyarakat.

Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Semarang meresmikan Klinik Utama untuk peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat Minggu(17/9/2023).

Radarjateng.com,SEMARANG – Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Semarang meresmikan Klinik Utama untuk meningkatkan layanan kesehatan kepada masyarakat. Peresmian dilaksanakan bertepatan dengan momen hari ulang tahun (HUT) PMI ke-78 di markas PMI Kota Semarang, Jalan MGR Soegijapranata, Minggu (17/9/2023).

Ketua PMI Kota Semarang, Dr.dr. Awal Prasetyo, THT-KL, MKes mengatakan naiknya status dari Klinik Pratama ke Klinik Utama sebagai usaha hilirisasi stok produk pengolahan darah.

Ia katakan sebagaimana saran Dinkes Kota Semarang dan BPJS agar klinik PMI tidak hanya memberikan pelayanan transfusi darah. Namun lebih dari itu, pasien juga bisa mendapatkan berbagai pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Read More

“Jadi Klinik Utama PMI Kota Semarang ini memang ditujukan untuk upaya hilirisasi produk darah yang dikoleksi dari kesukarelaan masyarakat Kota Semarang sebagai pendonor darah di PMI Kota Semarang,” kata dr Awal.

Oleh karena itu, selain menggandeng Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKI) Semarang, mereka juga melakukan penjajakan dengan BPJS Kesehatan untuk layanan jaminan kesehatan nasional (JKN).

Tadi sudah mendapatkan usulan, Arahan dari bu Direktur BPJS dan dari pak Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang bahwa pasien-pasien selain perlu mendapatkan layanan transfusi misalnya, atau nanti kalau perlu juga pemberian obat kemo statik, juga perlu didukung kesehatan giginya, juga rehabilitasi mediknya, fisioterapi dan lain-lainnya,” ucapnya.

Terkait pembiayaan, Awal menegaskan peran PMI membantu kemanusiaan, sehingga persoalan itu bisa ditekan jika tanpa jaminan kesehatan dari pemerintah.

“Jadi tentu saja teman-teman tahu bahwa PMI adalah organisasi sosial kemanusiaan. Jadi yang pertama kali ditolong adalah manusianya, biayanya nanti bisa dipikul bareng,” ujarnya.

“Kalau di kota Semarang yang sudah Universal Health Coverage (UHC BPJS,-red), maka tentu saja ! program) itu bisa dimanfaatkan.Tetapi kalaupun terpaksa belum memiliki dukungan itu (BPJS), kami mengupayakan biaya itu tetap lebih ekonomislah walaupun tetap profesional, “sambungannya.

Direktur BPJS, dr. Lily Kresnowati, MKes menyebut ada lebih dari 50 persen kabupaten/kota di Indonesia yang telah menerapkan Universal Health Coverage (UHC). Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang tercepat menerapkan UHC BPJS.

“Tapi saya kira pada prinsipnya JKN itu sesuai dengan kebutuhan dasar kesehatan tentu ingin menjamin bahwa seluruh penderita tadi ya, thalasemia dan lain-lain semua ya yang membutuhkan layanan JKN tadi bisa terjamin dengan pelayanan JKN nya, apalagi Kota Semarang kan sudah UHC ya,” ujar Lily.

Nanti kita akan lihat bersama seperti apa bagaimana menyediakan persyaratan dan seterusnya, jadi untuk saat ini mungkin belum masuk ke JKN untuk hematologi onkologi, tetapi seluruh FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut) yang ada di kota Semarang ini sudah bisa menjamin Thalasemia dan hemofilia tadi ya di rumah sakit rumah sakit lain juga ada, namun khusus untuk yang klinik hematologi onkologi yang disampaikan tadi kita masih menjajaki masa depan seperti apa,” tambahnya.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dr. M. Abdul Hakam yang turut hadir dalam acara tersebut menyatakan dukungannya terhadap Klinik Utama PMI Kota Semarang yang menjadikan pelayanan unggulan. Menurutnya klinik utama memang seharusnya ada di kota-kota besar di Indonesia salah satunya adalah Kota Semarang.

“Harapannya ya tidak numpuk di rumah sakit, karena kasusnya kebetulan untuk pelayanan darah di kota Semarang ini cukup banyak karena memang 40 persen dari kabupaten/kota lain yang datang ke tempat kita,” ungkapnya.

Hakam menyebut, jikalau ini benar-benar bisa terlaksana menuju layanan klinik utama yang bisa khusus di layanan kelainan darah dan kanker, ia yakin antrian yang di rumah sakit bisa terurai.

“Apalagi kan layanannya juga cukup singkat ya kalau di sini, administrasinya juga cukup singkat,” terangnya.

Pihaknya berharap klinik utama PMI dapat terus berkembang, baik dari sisi kelengkapan peralatan lain yang mendukung maupun sumber daya manusia.

“Misalnya ada IGD nya, SDM, kemudian alat-alat untuk menangani keadaan darurat juga ada, kemudian ruangan seperti kayak HCU atau ICU nya yang ada alat ventilatornya, karena risiko transfusi salah satunya adalah gagal napas, itu juga harus disiapkan,” paparnya.

Hakam menambahkan, memasukkan juga dorongan agar PMI tidak hanya bergerak di donor darah, terlebih ada bulan dana PMI yang bisa menjadi salah satu dukungan untuk merealisasikan perkembangan pelayanan di klinik.

Mudah-mudahan nanti kemudian nanti dilengkapi karena kalau kita berbicara hematologi onkologi atau kasus kelainan darah dan kanker ini biasanya adalah Hb nya turun, pasti butuh tambahan darah, maka kalau misalnya klinik ini mau melangsungkan transfusi ya syarat-syarat yang tadi saya sampaikan harus disiapkan oleh temen-temen klinik utama PMI ini,” ungkapnya.

PMI Dampingi Pasien Thalasemia

Penderita thalasemia memiliki ketergantungan darah untuk hidup yang berkualitas dengan cara transfusi setidaknya 1 bulan sekali. Membantu penderita penyakit itu telah dilakukan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Semarang sejak tahun 1995

Shofa (21), salah satu penderita thalasemia asal boja, Kendal saat mengikuti diskusi tentang pelayanan hematologi onkologi (kasus kelainan darah).

Dialog tersebut diadakan di aula lt.4 gedung UDD PMI Kota Semarang dalam rangka peresmian Klinik Utama dan bertepatan dengan hari lahir PMI ke-78.

Pada kesempatan itu, Shofa yang mengidap penyakit thalasemia sejak usia 3 tahun ini mengaku rutin melakukan transfusi darah di klinik PMI Kota Semarang lebih dari 10 tahun.

“Sejak tahun 2010 mulai transfusi (nambah) darah di klinik PMI Kota Semarang,” ungkapnya.

 

Ia melakukan transfusi darah di klinik PMI Kota Semarang secara mandiri dengan nominal sekitar Rp500 ribu untuk sekali transfusi darah. Hal itu karena dirinya tidak bisa melakukan aktivasi BPJS Kesehatan dari pemerintah.

“Pake biayanya sendiri, ya sekitar lima ratus ribu,” jawabnya.

Ketua Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKI) Semarang Koordinator Jawa Tengah, Dr. dr. Eko Adi Pangarsa, Sp.PD, KHOM, dalam paparannya mengaku kasihan terhadap pasien thalasemia karena minimnya akses pengetahuan tentang penyakit tersebut.

Selain itu, juga keterbatasan akses obat dan pengobatan karena tidak semua bisa ditampung oleh rumah sakit. Sehingga perawatan pasien terpaksa dikembalikan kepada keluarga.

“Tidak semua pasien thalasemia ini bisa terakomodir di rumah sakit,” ujarnya.

Related posts