RadarJateng.com, Pendidikan – Setiap anak adalah pribadi yang unik dan memiliki kecerdasan atau bakat yang berbeda-beda. Sebagai guru dan orang tua, selayaknya kita perlu menyadarinya agar membantu tumbuh kembang mereka. Guru dan orang tua seringkali terjebak mengukur kemampuan anak hanya dalam satu ranah, yaitu ranah kemampuan kognitif. Kita memang harus jujur dan mengakui karena hanya kemampuan kognitiflah yang dapat didokumentasikan menjadi rapor sehingga guru dan orang tua selalu terjebak memberikan label kepada anaknya, pandai atau tidak, hanya dengan menggunakan lembaran rapor kognitif.
Buku rapor menjadi kitab suci untuk menilai perkembangan kemampuan para siswa. Dengan gelisah dan tak sabar banyak orang tua yang langsung membuka rapor, yang berisi kolom bidang studi, kolom nilai, serta kolom nilai rata-rata kelas. Biasanya yang paling ingin diketahui orang tua adalah nilai satu bidang studi utama, yang dianggap symbol kemampuan dan kecerdasan anak kita, yaitu matematika. Jika nilai matematika bagus, maka legalah hati orang tua karena anaknya pandai dan sekolahnya berhasil. Kolom nilai berisi angka dalam rapor hanya mewakili satu ranah penilaian dalam kemampuan anak, yaitu kognitif. Dan yang paling parah, terjadi “kastanisasi bidang studi” dengan kasta tertinggi di bidang matematika dan IPA, lainnya di kelas ke dua dan ke tiga. Sungguh suatu persepsi yang salah.
Kemampuan yang termasuk dalam bentuk karya, psikomotorik , dan kemampuan afektif tidak pernah terekam menjadi sebuah kompetensi. Apabila seorang anak berperilaku baik, menghargai guru dalam mengajar, rajin mengikuti pelajaran, jujur, tidak pernah membolos, memiliki adab dan tata karma, tetapi nilai ujiannya mendapat nilai 5 (merah), pasti kita menyebut anak itu tidak pandai. Hilanglah sudah kemampuan afektif yang dimiliki oleh siswa tersebut.
Kemampuan seseorang itu adalah saat dia menunjukkan perkembangan dalam kehidupannya. Dalam ilmu psikologi perkembangan, ada tiga komponen perkembangan manusia yaitu : Psikoafektif, psikomotorik, dan psikokognitif. Sayang sekali jika sebuah sistem pendidikan menyempitkan kemampuan manusia yang seluas samudera menjadi selokan-selokan kecil yang mengerdilkan kemampuan satu dengan lainnya. Ketiga ranah kemampuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
- Manusia memiliki kemampuan psiko-afektif, yaitu suatu respon atau perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. Secara umum, perasaan itu adalah suasana hati yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak suka, baik dan buruk. Lebih jauh, afektif juga dapat diartikan perilaku atau akhlaq seseorang terhadap lingkungannya. Sederhananya, perilaku yang baik saat orang berinteraksi dengan lingkungannya ataupun dengan diri sendiri adalah sebuah kemampuan. Dalam dunia sekolah, anak yang berperilaku baik, seperti tidak pernah terlambat, sopan dan santun, selalu menghormati orang yang lebih tua, atau mudah bergaul, walhasil perilakunya akan menyenangkan banyak orang. Sesungguhnya, anak ini dikatakan memiliki kemampuan afektif. Tetapi jujur dalam dunia pendidikankita hanya menjadi “opini tambahan”, tidak dikatakan sebagai kemampuan dan tidak pernah kita sebut sebagai anak pintar atau anak pandai.
- Manusia memiliki kemampuan psikomotorik, yaitu perkembangan tubuh atau aspek jasmani setiap individu akan aktivitas dirinya terhadap sesuatu atau menghasilkan suatu benda. Lebih luas, psikomotor diartikan kemampuan seseorang untuk menampilkan diri tentang sesuatu atau kemampuan menghasilkan produk sesederhana apapun bentuknya. Anak berani tampil untuk memberikan presentasi, membaca puisi, menyanyi, menari, mampu membuat kerajinan tangan, menggambar, dan membuat produk, sesungguhnya juga termasuk kemampuan psikomotorik. Namun sayang sekali, kemampuan anak dalam ranah ini masih belum mendapat tempat yang baik dalam sistem pendidikan kita.
- Manusia memiliki kemampuan psikogognitif, yaitu perkembangan yang terjadi dalam bentuk pengenalan, pengertian, dan pemahaman dengan menggunakan pengamatan, pendengaran dan berfikir. Lebih dalam, kognitif adalah kemampuan olah piker seseorang untuk mengenali, menganalisis sesuatu dan akhirnya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Semestinya, kemampuan kognitif ini tidak terbatas pada kemampuan anak mengerjakan soal-soal tes diatas kertas, namun lebih cenderung pada penyelesaian soal-soal dalam bentuk masalah yang realistis dengan kemampuannya berfikir. Sayangnya, masih banyak guru yang memberikan soal kognitif tingkat rendah kepada siswanya. Dalam soal-soal kognitif tingkat rendah, tidak terkandung unsur “problem”. Jenis-jenis soal semacam ini biasanya terdapat pada jenis soal multiple choice atau pilihan ganda. Sayang jika kemampuan kognitif harus direduksi menjadi soal-soal diatas kertas yang tidak bermakna, yang jauh dari masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Soal yang tidak berkaitan dengan problem solving sebenarnya tidak sah digunakan sebagai penentu ketuntasan atau kelulusan seorang siswa.
Banyak fakta dan kejadianbahwa para orang tua dan guru tidak benar-benar adil dalam menilai kecerdasan beragam anak didik. Dan, proses ini masih berlangsung hingga saat ini. Pendidikan di sekolah kita telah membuat definisi yang tidak manusiawi tentang kemampuan. Kenyataannya kemampuan hanya dihargai dari sisi kognitif semata, tanpa melihat dimensi kemampuan dalam diri manusia yang lebih luas. Ironi dunia pendidikan di negara kita adalah telah mengabaikan kecerdasan-kecerdasan lain pemberian Allah SWT untuk manusia. Kita lebih mengenal wacana prestasi akademik dan ujian nasional yang menjadi satu-satunya cara bagi pemangku kepentingan pendidikan negeri ini dalam menentukan tingkat kecerdasan anak didik. Padahal, berbekal kecerdasan lain, setiap orang bisa lebih sukses.
Setiap orang tua dan juga guru wajib punya pandangan atau pola pikir yang menganggap bahwa setiap anak adalah juara, atau setiap anak punya potensi kebaikan, apapun yang dialami anak. Sayangnya orang tua dan pendidik serta serta sistem pendidikan di Indonesia, diakui atau tidak, masih menempatkan kemampuan kognitif di atas kemampuan psikomotorik dan afektif.
Salah satu upaya orang tua dan juga guru yaitu menjelajah kemampuan anak meskipun sekecil debu (discovery ability). Aktivitas menjelajah ini buka sekedar proses mencari untuk menemukan, akan tetapi aktvitas menjelajah ini harus didasari oleh tekad dan komitmen yang kuat. Pendidiknya manusia harus menjadi katalisator, yaitu pematik kemampuan siswanya. Upaya untuk memahami cara belajar siswa memang bukan hal yang mudah, dibutuhkan keterampilan dan seni tingkat tinggi. Informasi akan masuk ke dalam otak siswa dan tak terlupakan seumur hidup apabila informasi tersebut ditangkap berdasarkan gaya belajar siswa tersebut. Artinya orang tua dan guru harus mahir mengajar dengan strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa. Apabila paradigm ini benar-benar dipahami oleh orang tua dan guru, maka tidak aka nada label siswa bodoh atau siswa tidak becus.
Kecerdasan, sesungguhnya adalah kemampuan memecahkan masalah dan kreativitas. Dua hal tersebut tidak dapat diukur oleh instrument tes intelligence quotient, IQ semata, apalagi ujian nasional. Kecerdasan adalah suatu perilaku yang diulang-ulang, bersifat dinamis, dan berkembang sesuai pola serta kebiasaan. Tuhan tidak menciptakan manusia dengan satu atau dua kecerdasan saja, tetapi multi kecerdasan. Tiap-tiap anak terlahir ke dunia dengan potensi yangunik, jika dipupuk dengan benar,dapat turut memberikan sumbangan bagi dunia yang lebih baik. Tantangan terbesar adalah menyingkirkan batu besar yang menghalangi jalan mereka dalam menemukan, mengembangkan, dan merayakan nugerah yang mereka miliki.
Penulis, Rahajeng Silmi Nuswantari, SH, S.Pd Guru TK ITQ As Syafi’iyah, Cabean, Mendut Mungkid Magelang – Jawa Tengah