RadarJateng.com, Pendidikan – Secara umum diketahui bahwa dalam perkembangan anak perlu dipenuhi berbagai kebutuhan, yaitu kebutuhan primer, pangan, sandang dan perumahan serta kasih sayang, penghargaan terhadap dirinya dan peluang mengaktualisasikan dirinya. Pemenuhan kebutuhan dalam perkembangan ini banyak tergantung dari cara lingkungannya berinteraksi dengan dirinya. Sebagaimana organisme ditentukan secara alamiah oleh sifat-sifat keturunan dan ciri-ciri unik yang dibawa sejak lahir. Perkembangan organisme itu juga ditentukan oleh cara-cara lingkungan berinteraksi dengan individu, yaitu melalui pendekatan, kasih sayang, dan peluang mengatualisasikan diri.
Kewajiban sekolah sebaik mungkin mempersiapkan anak didik dengan bekal yang mencukupi untuk menghadapi tantangan masa depan. Setiap orang tua bertugas dalam proses pendidikan itu dengan membantu mengembangkan potensi anak didiknya. Banyak bergantung pada suasana pendidikan lingkungan yang bersumber dari iklim pergaulan antara orang tua dan anak, bagaimana tugas tersebut diwujudkan. Pendidikan secara potensial berakar dari pergaulan biasa, khususnya antara orang tua dan anak didik. Jadi setiap pergaulan tersebut adalah suatu lapangan yang memiliki kemungkinan kesiapan untuk berubah menjadi situasi pendidikan dimana mendidik dilandasi oleh nilai moral tertentu dan mengacu pada perwujudan potensi bakat tertentu, yaitu suatu tindakan untuk memenuhi kebutuhan psikologis.
Pengembangan emosi anak mencapai aktualisasi optimal bukan saja dipengaruhi faktor bakat, melainkan juga factor lingkungan yang membimbing dan membentuk perkembangan anak. Perkembangan seluruh kepribadiannya selain dilatarbelakangi kedua factor tersebut juga terkait dengan kemampuan intelektual, motivasi, pengetahuan, dan konsep dirinya. Keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh kemampuan kognitif, tetapi ternyata faktor non kognitif (yaitu antara lain motivasi, emosi) tidak kalah penting, bahkan mempengaruhi tingkat kinerja serta lingkungan, maupun perkembangan dirinya sendiri.
Meskipun sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa anak yang memiliki inteligensi ( yang diukur dengan intelligence Quotient atau IQ) akan lebih mudah merencanakan materi yang diajarkan. Sengan demikian prestasi belajar biasanya lebih tinggi. Namun inteligensi emosional yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan orang, atau yang disebut EQ (Emotional Intelligence), juga mempengaruhi prestasi belajar seseorang. Secara umum dapat dikatakan bahwa EQ itu adalah suatu ukuran yang menunjuk pada kualitas memahami perasaannya sendiri dan kemampuan ikut mengalami penghayatan perasaan orang lain (empati). Kemampuan membaca situasi sekitar melalui kesadaran diri (self awareness), sehingga ia mampu mengendalikan dirinya disertai kematangan (maturity) menentukan pilihan adalah gambaran dari beberapa keterampilan emosional yang dikandung oleh pengertian inteligensi emosional ini.
Keseimbangan antara inteligensi intelektual dan inteligensi emosional diperlukan antara lain untuk berkonsentrasi terhadap materi pembelajaran yang dihadapi, mengatasi stress atau kecemasan dalam persoalan tertentu. Hal ini berkenaan dengan bijaknya seseorang terhadap perasaannya sendiri. Semua ini juga terkait dengan motivasi internal yaitu, kecendrungan seseorang untuk secara internal berprakarsa secara terarah, memiliki dorongan untuk maju. Motivasi ini bersumber dari keyakinan kemampuannya untuk memperoleh sukses dalam upaya mencapai sasaran yang dicanangkan. Hal ini berdampak pada upaya mewujudkan prestasi belajar, mengaktualisasikan potensi seoptimal mungkin.
Setiap anak dilahirkan dengan bakat yang merupakan potensi kemampuan yang berbeda-beda dan terwujud karena interaksi yang dinamis antara keunikan individu dan pengaruh lingkungan, Berbagai kemampuan yang teraktualisasikan beranjak dari berfungsinya otak kita. Berfungsinya otak kita adalah hasil interaksi dari cetakan biru (blue print) genetis dan pengaruh lingkungan itu. Pada waktu manusia lahir, kelengkapan organisasi otak memuat 100-200 miliar sel otak (Teyler, 1977, dalam Clark, 1966), siap untuk dikembangkan serta diaktualisasikan mencapai tingkat perkembangan potensi tertinggi.
Otak dewasa tidak lebih dari 1,5 kg, namun otak tersebut adalah pusat berpikir, perilaku serta emosi manusia yang mencerminkan seluruh dirinya (selfhood) kebudayaan , kejiwaan serta bahasa dan ingatan. Descartes pernah mengutarakan bahwa otak merupakan pusat kesadaran orang. Ibarat saisnya, sedangkan badan manusia adalah kudanya.
Kecerdasan orang juga ditentukan struktur otak.Cebrebrum otak besar dibagi dalam dua belahan otak yang disambungkan oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Belahan otak kanan menguasai otak kiri badan. Respon, tugas dan fungsi belahan otak kiri dan kanan berbeda dalam menghayati berbagai pengalaman belajar, sebagaimana orang mengalami realitas secara berbeda-beda dan unik. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk merespon terhadap hal yang sifatnya linier, logis,dan teratur. Sedangkan belahan otak kanan mengembangkan imajinasi dan kreatifitas. Berfungsinya belahan otak kanan inilah yang perlu digalakkan dalam pengembangan kreatifitas. Sayang sekali sekolah-sekolah kita pada umumnya kurang memperhatikan fungsi belahan otak kanan.
Secara umum pendidik, baik guru maupun orang tua dalam mengarahkan belajar anak perlu memperhatikan masalah yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan psikologis, perkembangan intelegensi, emosional, motivasi serta pengembangan kreatifitas anak. Secara khusus dalam pembelajaran di sekolah, seyogyanya guru dapat mengembangkan kreatifitas sehingga dapat mengendalikan fungsi kedua belahan otak secara harmonis.
Penulis : Mariati, S.Pd Guru TK ABA Belalang – Sulawesi Selatan