RadarJateng.com, Pendidikan – Negara Cina adalah negara yang sangat luas dengan berbagai etnik dan budaya. Banyak kisah dan dongeng-dongeng terkenal yang sudah melegenda dari negara tirai bambu ini. Hampir setiap suku yang ada di Cina memiliki cerita rakyat yang sangat menarik, salah satunya adalah cerita dibalik makanan khas China. Hampir setiap makanan khas China memiliki filosofi dan kisah menarik di belakangnya, tak terkecuali kue bulan atau Mooncake.
Mooncake atau kue bulan merupakan sajian wajib khas Festival Musim Gugur di China. Selain dari pada perayaan Imlek, Festival musim gugur ini juga merupakan salah satu perayaan terbesar di Negara China yang biasa jatuh pada setiap hari ke-15 bulan 8 penanggalan China.
Perayaan Festival Musim Gugur ini mirip seperti perayaan Thanksgiving di Amerika Serikat. Hanya saja, jika Thanksgiving orang memanjatkan syukur karena hasil panen yang melimpah, maka pada Festival Musim Gugur ini masyarakat Tionghoa justru mensyukuri awal panen sebelum memasuki musim dingin.
Di Indonesia, Kue bulan biasanya dikenal dalam dialek Hokkian, yaitu Gwee Pia atau Tiong Ciu Pia. Sementara dalam dialek Hakka/Khek, kue bulan disebut Ngiet-Piang. Mengutip laman Tionghoa.info, setidaknya ada empat kisah yang melatarbelakangi kisah dari Kue bulan ini, namun cerita berikut ini adalah yang cukup termasyur.
Konon, di zaman dahulu ada legenda tentang sepasang suami-istri yang Bernama Hou Yi (后羿) dan Chang E(嫦娥). Di masa itu, bumi memiliki sepuluh buah matahari di langit yang mengakibatkan kerusakan di muka bumi. Bumi menjadi sangat panas, tanaman dan hewan mati, serta sungai pun ikut mengering. Hou Yi adalah seorang pemanah handal yang kemudian diperintahkan sang Ratu yang memerintah saat itu untuk memanah sepuluh matahari tersebut. Hou yi pun akhirnya berhasil memanah sembilan dari sepuluh matahari. Dia menyisakan satu matahari agar bisa bermanfaat untuk mahluk hidup di bumi.
Berkat keberhasilannya itu, Hou Yi dihadiahi sebotol ramuan abadi oleh sang Ratu yang apabila diminum maka akan membuatnya hidup abadi dan bisa menjadi Dewa. Hou yi pun memberikan ramuan tersebut kepada istrinya yang Bernama Chang E untuk disimpan. Sayangnya, salah satu murid Hou yi yang Bernama Feng Meng mengetahui hal ini dan berkeinginan untuk merampas ramuan tersebut.
Ketika Hou yi pergi, Feng Meng mendatangi rumah Hou yi dan mengancam Chang E dengan sebuah pedang agar memberikan ramuan itu kepadanya. Chang E pun menolak untuk memberikannya. Karena terdesak untuk menyelamatkan diri, akhirnya Chang E memutuskan untuk meminum ramuan itu. Singkat cerita, Karena overdosis Chang E lalu pingsan dan terjatuh ke lantai. Seketika tubuhnya menjadi ringan dan perlahan melayang ke langit dengan membawa satu benda yang dijadikan sebagai pegangan yaitu kandang kelinci.
Tubuh Chang E yang semakin ringanpun terus melayang ke langit, sampai akhirnya terdampar di bulan (bersama kelincinya) dan berubah menjadi Dewi Bulan. Sampai sekarang pun terdapat kepercayaan bahwa kelinci itu bisa terlihat jika bulan sedang bulan purnama.
Hou yi yang mengetahui kejadian itupun merasa sedih karena harus berpisah dengan istri yang dicintainya. Ketika itu, seorang Dewa yang merasa iba terhadap kejadian ini mendatangi Hou yi lewat mimpi. Dewa tersebut mengajarkan Houyi cara untuk bisa bertemu dengan Chang E yakni dengan membuat kue bulan dan memanggil nama Chang E secara terus menerus saat puncak bulan purnama.
Tanggal 15 bulan 8 imlek adalah posisi bulan berada paling dekat dengan bumi. Ketika itu Hou Yi melaksanakan ajaran sang Dewa. Ia duduk minum teh dan menyantap kue bulan sembari menunggu Chang E dalam balutan bulan purnama. Dan benar saja, Chang E pun turun ke bumi dan menemui Hou yi selama sehari.
Seorang pakar kuliner Indonesia, William Wongso (2020) mengatakan “Jadi setiap pertengahan musim gugur, di mana bulannya paling terang masyarakat itu menyajikan makanan untuk supaya menarik agar Chang E mau pulang ke bumi. Itu prinsip legendanya kurang lebih. Tapi sekarang kan sudah menjadi suatu komoditi festival yang hanya ada saat festival saja, hari-hari biasa enggak ada,” (Kumparan Food. 2020)
Kisah kue bulan versi lainnya adalah penghormatan kaum petani kepada Dewi Bulan pada tanggal itu karena hasil panen yang berlimpah. Para petani lalu membuat dan mempersembahkan sejenis kue berisi bulatan kuning telur utuh yang menjadi simbol bulan purnama sebagai rasa syukur kepada Dewi Bulan. Seiring waktu, tradisi itu terus dilaksanakan warga keturunan Tionghoa di seluruh dunia. Kue bulan dipercaya menjadi simbol kemakmuran dan panjang umur yang perlu dilestarikan oleh warga Tionghoa. (CMA Mental Arithmetic.2020)
Penulis, Ahliyana Saida Rakhim, S.Hum, M.Pd, SMA Waskito Pamulang, Tangerang Selatan.